Psikologi di Balik Pilihan Pekerjaan Non-Formal Pasca-Layoff

Mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) atau layoff adalah pengalaman yang mengguncang psikologis seseorang. Dalam kondisi ini, banyak orang merasa kehilangan arah, mengalami kecemasan, dan terjebak dalam keputusan untuk mengambil pekerjaan non-formal seperti ojek online, kurir, atau pekerjaan serabutan lainnya. Meskipun keputusan ini sering dianggap sebagai jalan keluar sementara, banyak yang akhirnya terjebak dalam pekerjaan ini untuk jangka waktu yang lebih lama dari yang mereka harapkan.

Mengapa hal ini terjadi? Apa yang membuat seseorang sulit keluar dari pekerjaan non-formal setelah layoff? Artikel ini akan membahas aspek psikologis yang berperan dalam fenomena ini.

1. Ketakutan akan Ketidakpastian

Layoff menciptakan ketidakpastian yang besar dalam hidup seseorang. Saat pekerjaan hilang, begitu pula rasa aman finansial dan identitas profesional yang selama ini terbentuk. Dalam kondisi ini, otak manusia cenderung mencari jalan keluar tercepat untuk menghindari stres dan ketidakpastian. Pekerjaan non-formal, yang bisa langsung diakses tanpa proses rekrutmen yang panjang, menjadi solusi instan untuk mengembalikan rasa kontrol atas kehidupan mereka.

Contoh: Seorang mantan pekerja kantoran yang kehilangan pekerjaannya mungkin merasa panik karena tagihan bulanan terus berjalan. Alih-alih menghabiskan waktu mencari pekerjaan formal yang sesuai dengan keahliannya (yang bisa memakan waktu berbulan-bulan), ia memilih menjadi pengemudi ojek online karena bisa langsung mendapatkan penghasilan harian.

2. Tekanan Sosial dan Finansial

Masyarakat sering kali memiliki ekspektasi tinggi terhadap individu yang sudah bekerja, terutama bagi mereka yang sudah berkeluarga. Ketika seseorang mengalami layoff, tekanan dari keluarga dan lingkungan sekitar bisa menjadi sangat berat. Mereka tidak ingin terlihat “menganggur” atau “tidak produktif,” sehingga mengambil pekerjaan apa pun yang bisa menghasilkan uang menjadi prioritas utama.

Dampaknya:

  • Rasa malu dan rendah diri membuat seseorang enggan mengakui bahwa mereka sedang dalam proses mencari pekerjaan yang lebih baik.
  • Tekanan dari keluarga yang membutuhkan pemasukan membuat mereka merasa tidak punya pilihan selain langsung bekerja di sektor non-formal.
  • Perasaan bersalah terhadap pasangan atau anak-anak karena tidak bisa memenuhi kebutuhan finansial seperti sebelumnya.

3. Efek Kepercayaan Diri yang Menurun

PHK tidak hanya berdampak pada kondisi finansial tetapi juga pada rasa keberhargaan diri seseorang. Banyak pekerja yang terkena layoff mulai meragukan kemampuan mereka sendiri, berpikir bahwa mereka tidak cukup kompeten atau tidak lagi relevan di dunia kerja formal. Kepercayaan diri yang menurun ini sering kali menghalangi mereka untuk berani melamar pekerjaan yang lebih baik dan lebih sesuai dengan latar belakang mereka. Dalam kasus ekstrem, penurunan kepercayaan diri ini dapat berdampak pada perubahan konsep diri (self-concept) ke arah yang kontraproduktif.

4. Kenyamanan yang Menjebak

Awalnya, banyak pekerja yang menganggap pekerjaan non-formal hanya sebagai solusi sementara. Namun, seiring waktu, mereka mulai terbiasa dengan pola kerja yang lebih fleksibel dan pendapatan yang bisa langsung diperoleh. Bahkan jika penghasilan dari pekerjaan non-formal tidak stabil, ada kepuasan psikologis dari mendapatkan uang setiap hari tanpa harus menunggu gaji bulanan.

Namun, di balik kenyamanan ini, ada risiko besar:

  • Kesulitan kembali ke pekerjaan formal karena sudah terbiasa dengan pola kerja yang bebas dan tanpa tekanan manajerial.
  • Kurangnya pengembangan keterampilan karena pekerjaan non-formal jarang memberikan kesempatan untuk belajar dan berkembang.
  • Ketergantungan pada sistem ekonomi gig yang tidak memiliki jaminan sosial, asuransi, atau jenjang karier.

5. Ketergantungan pada Pekerjaan Non-Formal di Indonesia

Ketergantungan pada pekerjaan non-formal di Indonesia semakin meningkat, seiring dengan terbatasnya jumlah pekerjaan formal yang tersedia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa sekitar 60% lebih dari total angkatan kerja Indonesia berada di sektor informal, yang mencakup pekerja bebas, petani, pedagang, ojek online, dan pekerjaan tidak tetap lainnya. Pekerjaan semacam ini tidak memiliki jaminan sosial atau penghasilan tetap, dan sering kali bergantung pada kondisi pasar yang fluktuatif.

Ketidakmampuan pemerintah dalam menciptakan lapangan pekerjaan yang layak dan terjamin bagi para pekerja sering kali menjadi alasan utama mengapa sektor informal berkembang pesat. Banyak pekerjaan formal yang seharusnya bisa disediakan oleh sektor publik dan swasta tidak tersedia, sementara yang ada sering kali tidak memenuhi standar kebutuhan hidup layak. Bahkan setelah terkena layoff, banyak pekerja yang kesulitan untuk kembali ke pasar kerja formal karena keterbatasan lapangan pekerjaan dan ketidaksesuaian keterampilan.

6. Perbandingan dengan Negara Lain

Sebagai perbandingan, negara-negara dengan ekonomi maju cenderung memiliki sistem jaminan sosial yang lebih baik dan lebih banyak kesempatan bagi pekerja yang terdampak layoff untuk kembali ke pasar kerja. Di negara-negara seperti Jerman dan Swedia, pemerintah menyediakan pelatihan ulang dan bantuan keuangan sementara bagi pekerja yang kehilangan pekerjaan. Sistem ini memungkinkan pekerja untuk memperbarui keterampilan mereka sebelum kembali bekerja di sektor formal.

Di negara-negara seperti Jepang dan Korea Selatan, sektor informal memang ada, tetapi pengaturan ketenagakerjaan mereka lebih terstruktur dan memberikan lebih banyak perlindungan bagi pekerja. Namun, di Indonesia, sektor non-formal sering kali berhubungan dengan ketidakpastian dan ketidakstabilan ekonomi yang semakin memperburuk kualitas hidup pekerja.

7. Ruang Pulih: Solusi dari TalentCraftLab

Sebagai respons terhadap tantangan psikologis akibat layoff dan pekerjaan non-formal, TalentCraftLab menghadirkan Ruang Pulih, sebuah program yang dirancang untuk membantu individu yang terdampak PHK agar dapat bangkit kembali. Program ini mencakup sesi dukungan psikologis, bimbingan karier, serta pelatihan keterampilan guna membantu peserta mendapatkan kembali kepercayaan diri dan kesiapan untuk kembali ke dunia kerja formal. Dengan pendekatan yang komprehensif, Ruang Pulih berusaha mengurangi dampak negatif layoff dan meningkatkan ketahanan individu dalam menghadapi tantangan ketenagakerjaan.

 


Reference:

  • Badan Pusat Statistik (BPS). (2023). “Tren Ketenagakerjaan di Indonesia.” Jakarta: BPS.
  • Kahneman, D. (2011). Thinking, Fast and Slow. New York: Farrar, Straus and Giroux.
  • Schunk, D. H., & DiBenedetto, M. K. (2020). “Motivation and Social-Emotional Learning: Theory, Research, and Practice.” Contemporary Educational Psychology, 60, 101830.
  • Sun, J., & Pan, W. (2018). “The Psychological Effects of Unemployment and Job Insecurity.” International Journal of Stress Management, 25(2), 193-206.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *